Kau, yang
membawaku kembali injakkan kaki disini. Mengulang romantisme lama, sedikit terbuai, dan bangkit dari mimpi. Ya...
walau aku tak menginginkannya. Aku ingin terus mengulang masa itu; saat aku
mulai mengenalmu.
Kau. Yang kukenal
hanya lewat layar komputer, dan sesekali berbincang lewat lusinan huruf dalam
kotak pesan jejaring sosial. Friendster.
Ya, kau! Yang diam-diam
mencari informasi tentangku, lalu tiba-tiba datang ke rumah membawa yangko dan
bakpia. Dan celana cingkrangmu.
Entah apa yang
kau pikirkan. Dan entah apa yang membuatku tak bisa mengingat kata ”yangko”,
hingga aku bertanya padamu suatu kali. Karena kau di Jogja, tempat makanan itu
berasal, jadi aku menanyakannya padamu. Dan keesokan harinya kau tiba-tiba datang ke rumah, membawakannya untukku. Kau pasti
sudah berpikir tentang itu, termasuk betapa jauh Jogja-Madura. Kalianget,
rumahku. Tepat di ujung timur pulau garam.
Kau bilang aku
cuek. Tapi kau bertahan walau hampir selalu mendapat balasan singkat ”iya”, ”tidak”, "oke", atau ”in syaa Alloh”. Dan kau pun tak mundur saat bertanya, ”Apakah sudah ada
yang melamar ukhti?” lalu kujawab, ”That’s NOT your business. It’s my privacy.”
Aku selalu
tersenyum mengingat itu. Betapa bodohnya aku.
Dan sebulanan
setelah yangko itu kau antar ke rumah, aku menjadi istrimu. Kau mulai
mendidikku dengan mengoreksi shalat dan tilawahku. Jangan ditanya bagaimana
kikuknya aku di depanmu. Kau pasti
masih sangat ingat itu.

Aku bertanya
sesuatu. Tentang kau dan ”kenekatanmu” memilihku, walau aku sudah memberitahumu
tentang masa laluku. Kudengar kau pernah hendak dijodohkan dengan seorang
wanita berkerudung lebar, namun kau menolaknya.
Kau jawab, ”Aku
menyukaimu karena kaos kakimu. Wanita yang dulu hendak dijodohkan denganku
sungguh wanita yang baik, namun ia lupa (atau entah melupakan) kaos kakinya
saat aku bertandang ke rumahnya. Ia lupa, bahwa aku bukan mahramnya dan
auratnya bukanlah hakku. Dan aku memilihmu, karena kau menjaga auratmu.”
Kau tahu?
Sebenarnya aku juga tertarik padamu sejak melihat celana cingkrangmu. Aku tak
ingat wajahmu saat itu. Yang kuingat hanya celana cingkrang dan jaket coklat,
yang kulihat dari belakang.
Kau, yang takkan
kulalui pintu surga tanpa ridhomu, tanpa cintamu.
Aku cinta kau
karena cintaku pada Tuhanku. Dan aku tahu cintamu pada-Nya lah yang membuatmu
begitu mencintaiku.
Kau, aku, dan
bidadari kecil kita. Nayfah.